Arsip Tag: Penguasaan

Pembatasan Luas Penguasaan

Pembatasan Luas Penguasaan Kepemilikan tanah

Pembatasan Luas Penguasaan – Pembangunan di segaa bidang terus melaju. Orang atau badan hukum (badan usaha) terus berekspansi memperluas bisnis masing-masing.

Mereka yang bergerak di bidang usaha properti terus membangun: resort, hotel, apartemen, mal (pusat perbelanjaan), perumahan.

Sementara mereka yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan, terus berusaha mengembangkan luas lahan perkebunannya atau membangun perkebunan baru.

Semua ekspansi ini akan mengonsumsi tanah yang tidak sedikit, pada gilirannya akan mengambil (membebaskan) tanah-tanah milik masyarakat untuk memenuhi kebutuhan luas tanah.

Tentu saja hal ini akan mengakibatkan ketimpangan penguasaan pemilikan tanah – yang memang sudah timpang – menjadi semakin timpang.

Menurut Konsorium Pembaruan Agraria, ketimpang penguasaan pemilikan tanah atau gini ratio di Indonesia sebesar 0,68. Artinya, 68 persen dari seluruh daratan di Indonesia saat ini di kuasai oleh hanya satu persen kelompok pengusaha dan badan usaha besar.

Sementara itu, 99 persen masyarakat lainnya harus berebut sisa lahan sebesar 32 persen.

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga mulai terlihat di berbagai wilayah di luar Jawa.

Peran Konsorium Pembaruan Agraria dalam Menyikapi Ketimpangan Tanah

Menghadapi kondisi ini, perlu pengereman laju ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, mencegah bertumpuknya penguasaan pemilikan tanah di satu atau beberapa orang atau badan hukum.

Mengurangi terjadinya spekulasi tanah (land speculation) oleh orang atau badan hukum – membeli tanah dengan harga murah secara besar – besaran, menyimpan tanpa di usahakan, dan menjual bila harga tanah sudah niak.

Pengereman dilakukan memalui pembatasan luas tanah yang akan di kuasai atau akan di miliki badan hukum (badan usaha), baik tanah pertanian maupun tanah nonpertanian (perumahan).

Dengan demikian, kepemilikan tanah akan terdistribusi lebih merata kepada banyak orang atau badan hukum lain yang membutuhkan tanah.

Baca juga artikel lain di sini https://www.endeavourclearlake.org/

Peraturan Dasar Agraria dan Pengaturannya terhadap Kepemilikan Tanah

Pembatasan luas tanah tidak di maksud menghambat investasi. Investasi tetap di berikan ruang gerak untuk memenuhi kebutuhan tanahnya, tapi tidak secara besar-besaran.

Undang-undang no.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria melarang pemilikan pengasaan tanah yang melampaui batas agar tidak merugikan kepentingan umum.

Diatur luas maksimum dan minimum tanah yang boleh di miliki satu keluarga atau badan hukum. Kepentingan umum di artikan secara luas sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat.

Larangan ini di tuangkan dalam UU No.56 Prp 1960 Tentang Pmebatasan Luas Tanah Pertanian. Satu keluarga bersama-sama hanya di perbolehkan menguasai tanah pertanian. Baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau di kuasai seluruhnya, tidak boleh lebih dari 20 hektare, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering.

Sayangnya, UU No. 56 Prp Tahun 1960 hanya mengatur embatasan luas maksimum dan/atau minimum pemilikan tanah pertanian untuk satu keluarga. Tidak mengatur pembatasan luas maksimum kepemilikan tanah pertanian oleh badan hukum.

Begitu pula, amanat pembatasan maksimum dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya. Yang akan di atur oleh peraturan pemerintah, sampai ini belum terwujud.

Dalam pelaksanaannya, pembatasan penguasaan pemilikan tanah pertanian di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Penguasaan tanah Pertanian.

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa luas penguasaan dan pemilikan tanah pertanian perlu di batasi guna tercapainya pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Pembatasan penguasaan pemilikan tanah pertanian dilakukan terhadap perorangan dan badan hukum.