Ternyata, Ini Alasan Mayoritas Hotel Tak Punya Lantai 13

Mayoritas Hotel – Pernahkah kamu memperhatikan bahwa banyak hotel, terutama yang bertingkat tinggi, tidak memiliki lantai ke-13? Coba periksa tombol lift di hotel-hotel besar — dari lantai 12 langsung melompat ke lantai 14. Sebagian orang mungkin mengira ini hanya kebetulan atau strategi pemasaran, tapi faktanya lebih dari sekadar estetika atau teknis bangunan. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih dalam: takhayul, ketakutan kolektif, dan strategi bisnis yang memanfaatkan psikologi manusia.

Angka 13: Lebih dari Sekadar Nomor

Dalam banyak budaya Barat, angka 13 di anggap sebagai angka sial. Kepercayaan ini di kenal sebagai triskaidekaphobia, yaitu fobia terhadap angka 13. Angka ini secara konsisten di kaitkan dengan hal-hal negatif: kesialan, kematian, dan malapetaka. Bahkan dalam sejarahnya, angka 13 sering di kaitkan dengan peristiwa-peristiwa buruk — mulai dari jumlah tamu di Perjamuan Terakhir (yang ke-13 adalah Yudas Iskariot, si pengkhianat), hingga berbagai kejadian nahas yang terjadi pada hari Jumat tanggal 13.

Kepercayaan ini begitu mengakar kuat, bahkan perusahaan besar di industri perhotelan tak mau mengambil risiko kehilangan tamu hanya karena satu angka. Mereka lebih memilih melompati lantai 13 daripada menghadapi ketakutan tamu yang mungkin menolak menginap di sana. Ini bukan hal kecil. Dalam bisnis hotel, satu ulasan negatif karena tamu merasa “tidak nyaman” bisa berujung pada kerugian besar.

Permainan Psikologi dalam Dunia Properti

Ini bukan hanya soal mitos. Ini soal strategi. Bayangkan kamu adalah pemilik hotel mewah yang baru di buka. Kamu tentu ingin memberikan pengalaman terbaik bagi tamu-tamu yang mungkin membayar jutaan rupiah per malam. Apakah kamu mau mengambil risiko ada tamu yang rewel karena kamarnya berada di lantai ke-13? Tidak. Maka muncullah trik klasik: ubah angka.

Baca juga: https://www.endeavourclearlake.org/

Hasilnya? Setelah lantai 12, yang muncul adalah lantai 14. Padahal secara fisik, lantai itu tetap lantai ke-13. Tapi karena labelnya di ubah, masalah pun selesai. Ini adalah bentuk manipulasi persepsi yang sah-sah saja dalam industri ini. Bahkan beberapa hotel menamai lantai ke-13 dengan label unik seperti “12A” atau “M” agar tidak terdengar mencurigakan.

Bukan Cuma di Barat, Asia Pun Tak Luput dari Takhayul

Jangan pikir ini hanya fenomena di Barat. Di Asia, terutama di negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, angka tertentu juga di anggap membawa sial. Contohnya, angka 4 yang dalam bahasa Mandarin dan Jepang terdengar seperti kata “mati”. Tak heran jika banyak hotel dan apartemen di Asia yang juga sengaja melewatkan lantai ke-4.

Ini menunjukkan bahwa ketakutan terhadap angka bukan hanya fenomena lokal, melainkan lintas budaya. Bahkan dalam dunia modern yang di dominasi teknologi dan logika, kepercayaan mistis seperti ini masih punya tempat yang sangat kuat.

Apa yang Sebenarnya Disembunyikan dari Publik?

Beberapa teori konspirasi bahkan menyebutkan bahwa lantai 13 sengaja “di sembunyikan” karena di gunakan untuk keperluan rahasia, seperti ruang server, area staf, atau bahkan tempat pelatihan darurat yang tak boleh di akses publik. Apakah ini benar? Sulit di buktikan. Tapi justru karena tidak ada penjelasan pasti, misteri lantai 13 semakin menarik dan terus hidup dari generasi ke generasi.

Hotel Modern, Ketakutan Kuno

Yang ironis, meski dunia sudah melaju cepat menuju masa depan, dengan AI, smart hotel, dan teknologi yang semakin canggih, ketakutan terhadap angka 13 tetap saja tak berubah. Ketika akal sehat berbicara bahwa angka hanyalah simbol, tetap saja industri perhotelan memilih mengikuti arus ketakutan massal — bukan karena mereka percaya, tapi karena pelanggan mereka percaya.

Karena dalam dunia bisnis, persepsi adalah segalanya. Dan dalam dunia hotel, kenyamanan — bahkan yang bersumber dari sugesti irasional — tetap menjadi prioritas utama. Maka jangan heran, di banyak hotel, lantai 13 seolah menghilang begitu saja. Padahal, ia tetap ada. Tersembunyi. Diam-diam menyaksikan ketakutan manusia yang tak kunjung pudar.